Raih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

 

Dr. Muchlinarwati, SE., MA, wisudawati yang baru saja menyelesaikan studi doktoral pada pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh adalah anak dari pasangan almarhum H. Muchtar bin Jambi dan Hj. Syamsinar Yunus adalah dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nusantara Banda Aceh dan MKU Agama USK Banda Aceh. Anak pertama dari empat bersaudara ini telah menyelesaikan studi pada program Pendidikan Agama Islam. Tentunya tidak mudah menempuh perjalanan studi bagi mahasiswa doktoral, yang mana kesehariannya disibukkan dengan berbagai tugas akademik sebagai tenaga pengajar di Perguruan Tinggi.

Anak dari seorang pengusaha swasta nan pekerja keras ini tidaklah lahir dari keluarga dengan latar belakang pendidikan. Tetapi, tekad yang kuat dari seorang ayah, dan tentunya peran seorang ibu telah mengantarkan dirinya menyandang titel akademis di bidang agama. Peran seorang ayah sangat mengapresiasi dalam keberhasilan studinya, walaupun lahir dalam bentuk fisik yang sempurna, namun tumbuh besar dengan keterbatasan fisik yang berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Keterbatasan fisik tidak menjadi penghambat untuk meraih cita-cita studinya sampai pada strata tertinggi.

Kesuksesan seorang anak sangat ditentukan dari semangat orang tua meneruskan kehidupan yang jauh lebih baik dalam membentuk mental melalui pendidikan. Dengan perolehan gelar doktor maka terjawablah harapan seorang ayah yang tidak menamatkan Sekolah Dasar. Pepatah “buah tidak jauh jatuh dari batangnya” tidak selama dipahami bagaimana orang tua maka begitulah anaknya, tetapi juga berlaku seperti apa cita-cita seorang ayah maka begitulah yang akan terwujud atas anaknya. Tetapi, peran ibu juga sangat menentukan, “nasab memang turunnya dari ayah, tetapi nasib seorang anak sangat ditentukan dari doa-doa seorang ibu.

Bertemunya cita-cita seorang ayah dengan doa ibu maka apa pun yang dijalani oleh seorang anak tidak lagi menjadi sulit. Usaha dari seorang ayah dalam mencari nafkah untuk keluarganya dan doa yang dipanjatkan ibu sepanjang hari seluruh pintu-pintu langit akan membuka jalan untuk meraih apa yang dicita-citakan. Disaat ridha dari Yang Maha Kuasa diperoleh melalui doa ibu seterjal apa pun jalan yang ditempuh tidak lagi sulit untuk dilalui. Jika ridha ibu sudah diperoleh maka masalah yang besar akan menjadi kecil. Dan ini berlaku sebaliknya, jika ridha dari orang tua tidak ada maka hal yang kecil pun akan menjadi masalah besar.

Setiap orang tua mempunyai cita-cita besar untuk generasi berikutnya, menapaki hidup yang jauh lebih baik dapat dipahami dua orientasi; orientasi ekonomi dan orientasi pendidikan. Sebagai seorang pengusaha yang dulu almarhum H. Muchtar bin Jambi telah sukses dalam hal ekonomi namun terbelakang dalam bidang pendidikan, karena situasi pendidikan yang sulit, dan hampir rata-rata anak-anak seusia dirinya sulit mengakses pendidikan disebabkan masih jarangnya sekolah di daerah-daerah saat itu. Tetapi, ketertinggalan pendidikan bagi seorang ayah bukan berarti generasi berikutnya juga harus merasakan demikian.

Begitu juga dengan seorang ibu, tidak menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Walaupun demikian, upaya belajar untuk dirinya telah terkubur oleh kondisi zaman, namun pendidikan sebagai refresentatif dirinya dilanjutkan oleh anak-anak mereka. Dalam kondisi apa pun, niat untuk mencetak generasi yang lebih baik dalam berbagai bidang, terutama sekali pendidikan mesti di’azamkan dengan kuat agar generasi setelah mereka menjadi anak yang berguna untuk agama, umat, dan bangsa.

Almarhum H. Muchtar bin Jambi, bukanlah seorang sarjana, pendidikan yang ditempuh pun hanya di tingkat Sekolah Dasar, dan itu pun tidak tamat, tetapi sosok ini mempunyai semangat besar, dan pekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Dengan semangat dan kerja keras melakoni pekerjaan memiliki sebuah usaha swasta di kota Banda Aceh berhasil membangun usaha keluarga yang diberi nama CV Munarti, bermodalkan sebuah mesin cetak. Usaha ini dimulai sejak tahun 1982 sampai saat ini.

Usaha yang dibangun sejak tahun 1982 ini dikelola oleh ibunya semenjak ayahnya meninggal di tahun 2009; hasil dari usaha tersebut juga digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, terutama untuk meneruskan usaha selanjutnya yaitu adiknya yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Sebagai ibu rumah tangga, pendidikan anak juga sangat ditentukan dari peran seorang ibu. Al-umm al-madrasatul ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak. Sangat menentukan keberadaan seorang ibu, tidak hanya menyangkut dengan pendidikan tetapi juga dengan penanaman sikap.

Ibu adalah gudang akhlak bagi anak, sikap lebih dominan turun dari seorang ibu kepada anaknya dibandingkan dari seorang ayah. Oleh sebab itulah, salah satu alasannya kenapa Nabi Muhammad Saw hanya disisakan anak perempuan; yakni Sayyidah Fathimah, ini sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi untuk memperbaiki akhlak “innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak” (sesungguhnya aku diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak). Sekali lagi “nasab memang turunnya dari ayah tetapi nasib sangat ditentukan dari bagaimana seorang ibu menurunkan sifat pada anaknya”. Jika baik akhlak seorang ibu maka baiklah akhlak anaknya. Lewat Sayyidah Fathimahlah sifat (kesempurnaan akhlak) diteruskan pada generasi berikutnya. Dari ibulah anak itu belajar banyak hal, karena ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak.

Sebagai ibu rumah tangga, juga ikut membantu suami dalam menjalankan usaha keluarga. Dalam mendidik keluarga, apa pun masalah yang dihadapi persoalan pendidikan selalu menjadi tujuan utama. Dan juga selalu mengamanahkan kepada anak-anaknya agar tidak pernah mempersoalkan berapa jumlah uang jajan yang harus dibawa ke sekolah, walaupun uang yang diberikan dalam jumlah yang sedikit sekali pun. Disaat banyak anak mempersoalkan uang jajannya saat ke sekolah, kedua orang tuanya malah menanamkan bahwa bukan jumlah uang jajan yang membuat sukses dalam studi, melainkan semangat dan tekad.

Muchlinarwati-sering dipanggil Wati dalam keluarga atau Linar di lingkungan kampus terlahir normal dengan kepintaran di luar rata-rata anak-anak yang lain saat itu. Diusia satu tahun ia sudah bisa melafazkan ayat-ayat Al-Quran, bernyanyi, menari, dan bahkan sejak kecil sudah mampu melafazkan bahasa cina. Tinggal di kawasan Kampung Mulia, Peunayong Banda Aceh, yang mana penduduk setempat ditempati oleh warga keturunan Tionghoa. Sebab sejak kecil sudah lincah dan mudah beradaptasi dengan siapa pun menyebabkan Wati disukai banyak orang. Pengaruh lingkungan bahasa cina tentu familiar di telinga Wati kecil.

Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi disaat Wati kecil terjatuh dalam gendongan, kepalanya terbentur yang membuat Wati kecil menangis histeris. Akibat dari benturan di kepala membuat tubuh bayi kecil itu suhu badannya berubah menjadi panas. Dan pada saat juga dibawa ke rumah sakit. Berbulan-bulan lamanya harus menginap di rumah sakit, sebelumnya sempat mengalami koma satu hari satu malam. Selama berada di rumah sakit Wati kecil mendapatkan suntikan sebanyak 240 kali. Dalam kondisi sakit Wati kecil pernah diambil air sum-sum tulang belakang sebanyak dua kali, dan sempat pula disetrum. Hal ini mendapatkan kendala untuk disembuhkan. Tetapi kesehatannya tidak juga membaik, malah kondisinya tidak lagi bisa berjalan dan berbicara pada saat itu.

Dalam satu ruangan tidak hanya Wati, tetapi juga diisi oleh dua belas anak lainnya. Dari dua belas anak tersebut tidak ada yang selamat kecuali dua orang termasuk Wati. Dan sampai saat ini bayi kecil yang tumbuh besar dalam keadaan tidak normal bukan penghalang bagi dirinya untuk menempuh pendidikan. Tumbuh boleh tidak sempurna, tetapi semangat untuk belajar tidak boleh pudar. Dan ini dibuktikan dengan berhasilnya Wati meraih gelar doktor dalam waktu singkat selama tiga setengah tahun.

Melihat kondisi Wati semakin hari semakin buruk, keceriaan, kelincahan, dan kepintaran bayi kecil tidak lagi terlihat, tetapi kedua orang tuanya tidak pernah berputus asa, mencari cara untuk kesembuhan anaknya dalam berbagai cara. Sang ayah selalu membawa Wati kecil ke lapangan Lampadang Banda Aceh, dan mengusap air embun pada kedua kaki dan tangan sebelah kanan.

Akibat dari kecelakaan tersebut membuat tangan dan kaki semakin hari semakin mengecil. Usaha orang tua, berusaha untuk menyembuhkan dengan berbagai cara berlangsung lama, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tiba suatu hari, disaat kecil berada dibiarkan sendiri di kamar tiba-tiba ia berteriak dengan kaki sebelah kanan mulai bergerak. Mendengar ada suara berteriak orang tuanya bergegas menuju ke kamar dan menangis haru sebab melihat anaknya sudah bisa berteriak dan menggerakkan kaki serta tangannya yang sebelah kanan. Merasa ada perubahan, orang tuanya pun melanjutkan upaya penyembuhan walaupun saat berjalan tidak terlihat baik.

Pendidikan pertama, dalam kondisi fisik yang tidak sempurna Wati kecil dimasukkan ke sekolah TK YKA Taman Sari Banda Aceh. Semangat pendidikan yang ditanamkan oleh ayahnya sehingga Wati kecil tidak pernah berputus asa, belajar dan bermain seperti anak-anak yang lain. Tentunya, dikala itu fasilitas pendidikan untuk anak-anak yang memiliki fisik belum memadai, namun Wati kecil tidak berputus asa. Wati kecil mendapatkan dokrin yang baik dari orang tuanya.

Dokrin seperti ini hanya dimiliki oleh orang tua yang memandang bahwa kondisi fisik bukan menjadi kendala untuk melanjutkan pendidikan bagi generasi. Belajar adalah kewajiban bagi setiap manusia, tetapi kebanyakan dari manusia tidak merasa berdosa ketika ia berhenti belajar. Namun, sebagai muslim merasa sangat berdosa ketika ia melalaikan shalat atau meninggalkan shalat. Dibalik itu, tidak pernah merasa bersalah apalagi merasa berdosa disaat ia tidak belajar sepanjang harinya, dan bahkan sepanjang hidupnya.

Ilmu dalam pandangan Islam tidak dikotomi, tetapi Islam dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan membuat kategori; kategori ilmu pengetahuan dalam Islam tidak terlepas dari kata wajib, wajib secara personal (fardhu ‘ain) dan wajib secara komunal (fardhu kifayah). Ilmu apa pun itu mempelajarinya adalah wajib. Lebih-lebih ilmu yang menyangkut dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan tidak menafikan ilmu yang menyangkut dengan relasi antara manusia dengan manusia, makhluk lain, dan alam semesta. Tentunya, ilmu yang dipelajari adalah ilmu yang mendatangkan manfaat untuk manusia dan kesemestaan.

Orang yang berhenti belajar saat itu pula ia menuai kebodohan. Asas dari pendidikan adalah upaya menjemput pengetahuan sepanjang hidup. Long life education merupakan asas pendidikan yang sering luput dalam pandangan kebanyakan orang. Pepatah yang populer saat membicarakan pendidikan “belajarlah dari ayunan hingga ke liang lahat”, bermakna bahwa belajar tidak ada batasnya. Ada pun lembaga pendidikan yang membatasi masa dan waktu dalam menempuh pendidikan upaya menjalankan metode pendidikan berjenjang. Dan Wati kecil telah memulai pendidikanya sejak masuk sekolah Taman Kanak (TK). Kemudian ia pun melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 20 Banda Aceh.

Dikala menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Wati kecil mulai mendapat perlakuan yang tidak baik, seperti mendapat body shaming dari teman-temannya yang lain, ejekan-ejekan yang diterimanya tidak membuat ia berputus asa walaupun muncul rasa sedih juga. Selesai menamatkan pendidikan dasar ia pun meneruskan studinya ke jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) 9 Peunayong Banda Aceh, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Banda Aceh. Di sini, aktivitas belajar mulai mendapatkan rangking. Berhasil mendapatkan juara di kelasnya, mencapai posisi tiga besar tidaklah mudah bagi siswa, tetapi Wati mampu meraih rangking dua (2).

Aktivitas belajarnya pun mulai diisi dengan kegiatan belajar ekstra di luar kurikilum sekolah, seperti kajian-kajian keislaman Rohis Jeumpa Puteh. Tetapi, di Sekolah Menengah Atas ia mulai mendapat kesan, seperti kurang mendapat perhatian dari para guru dan siswa, keberadaannya dirasa tidak pantas berada di sekolah tersebut karena kondisi yang dibawanya adalah disabilitas, dengan anggapan bahwa tempat untuk siswa disabilitas telah disediakan di Sekolah Luar Biasa (SLB), itu pada awal masuk dan selanjutnya pihak sekolah dan siswa lainnya, mereka menerima kondisi Wati.

Optimisme dan sabar adalah modal utama bagi Wati menyelesaikan studinya hingga selesai tahun 2002, dan akhirnya ia pun mendapat kesempatan masuk Perguruan Tinggi melalui jalur undangan. Namun kelulusannya digugurkan karena ada siswa yang lebih tinggi nilai darinya. Peristiwa yang paling terkesan baginya adalah terkait dengan penggunaan jilbab bagi siswa, sebagai muslimah menutup aurat adalah kewajiban.

Di era tahun 2000 ke bawah, tidak ada kewajiban bagi siswa menggunakan jilbab, tetapi tetap menggunakan pakaian yang sopan. Sejauh masa belajar mengenai ilmu-ilmu keislaman tekadnya menggunakan jilbab semakin kuat. Namun, berlaku lain disaat melaksanakan sesi foto untuk kepentingan pembuatan Surat Tanda Tamat Belajar (ijazah), bagi siswa yang ingin menggunakan jilbab harus membuat surat pernyataan. Namun, ini berbeda dengan dan kawan-kawan lainnya, tetap bersikekeh untuk membuat pernyataan menggunakan jilbab pada pemotretan dilakukan.

Gagal masuk Perguruan Tinggi melalui jalur undangan, tidak membuat dirinya berputus asa. Semangat untuk melanjutkan studi pada jenjang berikutnya tetap terpatri dalam dirinya. Berbagai ujian diikuti, berbagai syarat dipenuhi untuk mengikuti ujian masuk di Perguruan Tinggi. Salah satu Perguruan Tinggi yang menjadi incarannya adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, yang dulunya masih berstatus Isntitut Agama Islam Islam Negeri (IAIN) pada jurusan Hukum Syariah, tetapi ia gagal masuk Perguruan Tinggi Agama.

Tahun berikutnya 2003 ia pun mencoba masuk Universitas Syiah Kuala (USK) pada Fakultas Ekonomi, dan lulus. Studi di Fakultas Ekonomi USK diselesaikannya dalam masa lima (5) tahun, dengan IPK 3,34. Telah aktif sejak SMA dalam mengikuti kegiatan ekstra kurikulum, ketika menjalani studi di Perguruan Tinggi pun ia ikut menjadi Mentor pada UP3AI mengajarkan mahasiswa baru mulai dari tahun 2003 sampai 2013.

Selain itu, ia juga pernah mengikuti organisasi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-MIZAN yang sekarang dinamakan Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) pada Fakultas ekonomi USK, sebagai anggota BKM (Badan Kemakmuran Masjid) dan sebagai sekretaris bidang LSO Pustaka. Kemudian berselang satu tahun ia melanjutkan pendidikan akta 4 (syarat jadi guru) tahun 2010, dalam waktu enam bulan ia pun mendapatkan ijazah.

Peran orang tua terhadap pendidikan dirinya tidak sampai di situ, ia pun diminta untuk melanjutkan studinya di Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, atas permintaan orang tuanya ia pun meneruskan pendidikan magister (strata 2), walaupun pada awalnya ia sempat menolak sebab tidak linear dengan pendidikan sarjananya (strata 1) Fakultas Ekonomi di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dengan jurusan Ekonomi Pembangunan (EKP).

Merasa asing melanjutkan studi di Perguruan Tinggi yang berlatar belakang ilmu-ilmu keislaman, tentunya ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk lulus, mengingat orang-orang yang bersamaan ikut ujian kompetensi kelulusan dari berbagai lembaga pendidikan Islam; baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri, sementara ia adalah satu-satunya peserta tes ujian berasal dari Perguruan Tinggi Umum.

Lulus menjadi mahasiswa pada Pascasarjana UIN ar-Raniry tahun 2010, dan menempuh studi magister dengan jurusan Pendidikan Agama Islam dalam waktu singkat, selama dua (2) tahun ia pun menyelesaikan studi magister dengan IPK 3,43. Dengan keterbatasan disabilitas ia tidak berhenti sampai di sini, sambil mengajar di MKU USK (2014- sekarang) dan STAI Nusantara Banda Aceh (2016-sekarang) ia telah mengikuti webinar, workshop, pelatihan, conference internasional, menulis jurnal dan menulis buku. Dosen tetap pada STAI Nusantara Banda Aceh, dan juga pemangku mata kuliah Pendidikan Agama pada USK dan telah menyelesaikan studi doktoralnya pada Pascasarjana yang sama; yakni Pascasarjana UIN Ar-Raniry dengan IPK 3,81.

Sebagai dosen dan sebagai mahasiswa doktoral, disela-sela menyelesaikan penulisan disertasi ia mendapat kesempatan mengikuti conference yang diselenggarakan oleh ICONIC (jadi presenter dan moderator), ARICIS, DICIS, ICORSR, ICIMS dan sebagainya. Kegiatan ekstra kurikulum yang diikuti sejak Sekolah Menengah Atas, terbawa juga ketika ia melanjutkan studi doktoral, dengan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah.

Dengan keterbatasan fisiknya, kondisi disabilitas tidak menjadi penghalang bagi dirinya untuk terus berkarya semampu yang bisa ia lakukan untuk mencapai cita-cita. Baginya pendidikan adalah nomor satu, sementara disabilitas yang menyertai fisiknya kenyataan hidup yang harus dijalankan. Penyakit yang dideritanya sejak kecil hingga saat ini adalah step atau polio, akibat kelumpuhan setengah badan dari otak sebelah kanan, tangan sampai kaki sebelah kanan. Akibat dari kelumpuhan di bagian otak sebelah kanan terganggu, sehingga lambat baginya untuk berbicara dan berpikir.

Orang yang biasa-biasanya ia hanya bisa berkata, orang baik memberikan teladan, orang yang berguna menebar manfaat untuk lingkungannya, orang yang memiliki kekuatan hadir sebagai pelindung, orang sombong cenderung merendahkan, orang lemah suka mengeluh, orang yang angkuh suka membanggakan diri, orang pintar mengetahui banyak hal, orang cerdas mampu mendemontrasikan pengetahuannya. Dan, dengan kelebihan serta kekurangannya sang inspirator selalu hadir menginspirasi banyak orang.

Dr. Muchlinarwati, MA adalah disabilitas yang menginspirasi, memiliki tekad yang kuat untuk mengikuti pendidikan sampai pada jenjang tertinggi. Proses penyelesaian studi yang dijalaninya sama seperti mahasiswa lainnya. Artinya, disabilitas yang dialaminya tidak menghambat untuk menyelesaikan studi tepat pada waktunya, bahkan ia telah menyelesaikan studi doktoral dalam waktu yang singkat, selama tiga setengah tahun. Masa singkat tidak mudah menyelesaikan strata tiga, tetapi ia telah membuktikan bahwa kondisi fisik (disabilitas) tidak menghalangi dirinya menyelesaikan ujian akhir disertasi sidang promosi doktor. Dan tidak hanya itu, ia pun telah mengikuti berbagai kegiatan ilmiah.

Membawa disabilitas bersama dirinya, semangat belajarnya telah menginspirasi dunia pendidikan anak-anak disabilitas, dan juga untuk semua orang pada umumnya. Pencapaian pendidikan tertinggi, keterbatasan fisik bukanlah penghalang baginya. Sosoknya tidak mudah berputus asa, sebab selalu ada harapan yang membangkitkan semangatnya. Selagi Tuhan masih menanamkan harapan dalam jiwa manusia pantang berputus asa. Meraih gelar doktor dalam waktu singkat; Dr. Muchlinarwati, SE., MA disabilitas yang membawa inspirasi patut diteladani (sumber. https://www.esdotfil.com)